Suara hati atau Hati Nurani seringkali juga disebut sebagai keputusan suara hati, atau dalam bahasa latin disebut Judicium Consientiae. Hati Nurani Etimologi dari kata Yunani suneidêsis (padanan katanya dalam bahasa Latin conscientia) memberi kesan bahwa artinya yang biasa ialah pengetahuan pendamping, atau kecakapan untuk pengetahuan bersama dengan dirinya sendiri. Dengan kata lain, hati nurani mengandung dalamnya lebih daripada hanya kesadaran atau penginderaan, karena kata ini mencakup juga penghakiman (dalam Alkitab memang penghakiman moral) atas suatu perbuatan yang dilakukan dengan sadar.
Suara hati turut beraksi dan pikiran mereka saling menuduh atau saling membela. (Roma 2:15). Dalam Perjanjian Baru, untuk suara hati adalah “suneidesis” (Roma 2:15), dalam bahasa Latin “conscientia”. Suneidesis artinya: setahu, dengan diketahui oleh. Dalam Perjanjian Lama, suara hati yakni “leb”. Dalam 1 Raj 2:44, raja Salomo berkata kepada Simei, bahwa hati Simei pun mengetahui (bersama-sama mengetahui) segala kejahatan yang diperbuatnya kepada Daud.
Menurut Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes no. 16 Suara hati adalah inti manusia yang paling rahasia dimana manusia seorang diri mendengar sapaan Allah di dalam batinnya (Sanggar Suci Allah). Di lubuk hati nuraninya, manusia menemukan hukum, yang tidak diterimanya dari dirinya sendiri, melainkan harus ditaati. Suara hati itu selalu menyerukan kepadanya untuk mencintai dan melaksanakan apa yang baik, dan menghindari apa yang jahat. Bilamana perlu, suara itu menggemakan dalam lubuk hatinya: jalankan ini, elakkan itu sebab dalam hatinya, manusia menemukan hukum yang ditulis oleh Allah. Martabatnya ialah mematuhi hukum itu dan menurut hukum itu pula ia akan diadili.
Suara hati adalah keputusan akal budi dimana manusia mengerti apakah suatu perbuatan konkret yang dia rencanakan, sedang dilaksanakan atau sudah dilaksanakan bersifat baik atau buruk secara moral (Katekismus Gereja Katolik no. 1778).
Dalam buku Iman Katolik, dijelaskan bahwa Suara hati adalah kemampuan manusia untuk menyadari tugas moral dan untuk mengambil keputusan moral.
Menurut Dr. Franz Magnis Suseno (1989) Suara hati adalah kesadaran dalam batin manusia bahwa manusia berkewajiban mutlak untuk melakukan hal-hal yang benar sesuai dengan tanggungjawabnya dalam situasi yang konkret.
Manusia membutuhkan suara hati, sebab suara hati bisa menjadi pegangan manusia agar bisa survive, membuat keputusan, dan menghadapi tantangan. Selain itu, suara hati seperti ‘radar’ yang bisa mengarahkan manusia dalam bertindak setiap hari, demikian kata Pastor Dr. Simon Petrus Lili Tjahjadi, Pr (via web atmajaya). Suara hati merupakan kesadaran akan kewajiban dan tanggung jawab pribadi sebagai manusia dalam situasi konkrit. Suara hati sebagai suatu kesadaran berarti segala tindakan manusia didasari atas pertimbangan-pertimbangan. Inilah yang membedakan manusia dengan hewan. Hewan tidak memiliki suara hati, tetapi segala tindakannya didorong oleh naluri/insting.
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa suara hati arti luas hati nurani berarti kesadaran moral yang tumbuh dan berkembang dalam hati manusia. Keinsafan akan adanya kewajiban. Dalam arti sempit Hati nurani merupakan penerapan kesadaran moral di atas dalam situasi konkret. Suara hati yang menilai suatu tindakan manusia benar atau salah, baik atau buruk. Hati nurani tampil sebagai hakim yang baik dan jujur .
Menurut dosen STF Driyarkara ini, suara hati memiliki 3 ciri, mutlak, universal, dan rasional. Suara hati bersifat mutlak karena ia tidak tergantung pada perasaan enak dan tidak enak, untung atau rugi, diterima atau ditolak masyarakat. Sementara universalitas suara hati tampak dari kesadaran bahwa apa yang dalam suara hati, saya sadari sebagai kewajiban saya merupakan kewajiban bagi siapa saja yang berada dalam situasi yang sama dengan saya. Sedangkan ciri rasional dari suara hati muncul karena adanya peluang yang bisa diperdebatkan mengenai suara hati. Persoalan atau penilaian moral merupakan masalah objektif dan memerlukan penalaran akal budi, sehingga bisa dipertanggungjawabkan, didiskusikan, didebat, diberi argumentasi pro atau kontra, dan sebagainya. Sifat debatable suara hati membedakan dirinya dengan perasaan yang sifatnya subyektif dan karena itu tidak bisa diperdebatkan.
Di dalam hati, dengan tiada terlawan, indeks (ia menjadi pembuat peraturan), kemudian sebagai iudex (hakim) dan sekaligus vindex (pembalas terhadap perbuatannya sendiri).